Jurnal: Jakarta
Picture source, all right reserved
Malam ini di saat sedang membaca Dilan, aku teringat akan suasana kota
Jakarta, Jakartaku yang hiruk pikuk namun membuat rindu. Jakarta selalu
memiliki daya pikatnya, meski sibuk dan beringas namun Jakarta menyimpan masa
kecilku yang polos dan bahagia. Jakarta akan selalu memiliki tempatnya di dalam
diriku, Jakartaku yang dulu akan selalu menjadi ingatan yang membuat rindu.
Jakartaku yang dulu bebas dari takut dan cemas, aku masih bisa memotret
gerobak di pinggir jalan yang hanya diterangi oleh lampu jalan yang remang. Soreku
di Jakarta adalah jalan seruas yang dibendung oleh langit keunguan yang indah. Aku
rindu Jakartaku yang itu, yang bebas dari kekhawatiran.
Aku sadar bahwa Jakartaku tidak lagi sama, Jakarta yang kini adalah
realitas yang harus kuhadapi dengan penuh kewaspadaan, Jakarta sekarang adalah
Ibukota yang buas. Aku masih menyayangi Jakarta walau dengan cara yang berbeda.
Aku juga sadar bahwa bayangan Jakartaku yang dulu tidak sepenuhnya realistis,
sebagian darinya telah direkonstruksi
namun Jakarta mana pun itu, dulu atau sekarang, mereka masih menyimpan
harapanku, harapan besar yang akan selalu kuperjuangkan.
Aku memang tidak sepenuhnya
dibesarkan di Jakarta namun sepotong masa kecilku di tanah Betawi mengajarkanku
begitu banyak pelajaran hidup, Jakarta mendewasakanku di usiaku yang dini,
Jakarta memaksaku untuk melihat kerasnya hidup namun juga menunjukkanku sisi
lain darinya yang lembut penuh pengertian lewat manusia-manusianya yang masih
tetap peduli akan sesama.
Jakarta akan selalu memiliki dua sisinya yang bertolak belakang layaknya manusia yang memiliki banyak kepribadian. Kadang ia dikutuk namun
terkadang dipuja. Meski hanya ada satu namun Jakarta semua dari kita tidak akan
sama, Jakartaku bukanlah Jakartamu.
Tidak ada habisnya mengulas kisah mengenai Jakarta namun satu kalimat yang
ingin kukatakan padanya: Jakarta, aku rindu, sangat rindu.
|
Comments
Post a Comment