Agustus Dulu dan Kini
Photo Credit : National Geographic Indonesia, 2014
Oleh : Wella Andany
Agustus, bulan yang begitu istimewa untuk bangsa Indonesia, bulan primadona
yang setiap tahunnya dihiasi perayaan dari upacara khidmat hingga canda tawa
disela pembaruan warna serta tahun gapura. Bulan penuh agenda yang begitu
ditunggu hingga dimahkotai panggilan kesayangan, Agustusan.
Agustus pun punya ciri khas tersendiri, ia berwarna merah dan putih, warna
kebanggaan bangsa ini. Agustus tidak hanya menyimpan sejarah namun juga membawa
tradisi bangsa ini dari generasi ke generasi. Tradisi yang tidak berubah
signifikan dari tahun ke tahun: upacara bendera, pawai, atribut kemerdekaan di
sekolah-sekolah dan perlombaan di hampir seluruh pelosok negeri ini.
Agustus punya tempat yang khusus di hati masyarakat Indonesia, ia membawa
kesibukan yang menyenangkan bagi anak-anak sekolah, rezeki tambahan untuk
sebagian dan untuk kebanyakan ia adalah cermin masa kecil yang ramai dan
gembira. Disadari atau tidak Agustus adalah diri dan ciri bangsa ini dari bocah
hingga dewasa.
Agustus begitu berapi-api, penuh dengan nyanyian, tari, puisi, pidato,
segalanya dibumbui rasa patriotisme yang membara. Tak lupa juga hiruk pikuk dan
hura-hura pesta kemerdekaan, berbagai lomba tidak pernah absen dari panjat
pinang, balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, bakiak dan berbagai
perlombaan lainnya yang mengundang antusias dan tawa rakyat di negeri ini.
Agustus adalah Valentine kedua di
Indonesia, muda-mudi di negeri ini berlomba-lomba mencurahkan cintanya pada
negara kelahirannya. Era modern kini membawa warna baru dari perayaan
Agustusan, berbagai kreativitas dan kemampuan terbaik ditunjukkan para penerus
bangsa, dari pengibaran bendera pusaka di puncak tertinggi hingga ke dasar
laut, segalanya dilakukan dengan tujuan yang sama, untuk menunjukkan
patriotisme anak bangsa yang menggebu.
Agustus adalah citra bangsa ini namun Agustus hanya satu dari dua belas,
terbatas dan sementara. Selepas Agustusan tidak hanya riuh perlombaan yang
luntur namun juga patriotisme yang tadinya dikenakan ikut terlucuti. Sebelas
bulan yang lainnya kita kembali menjadi individu-individu yang lupa ingatan,
yang melupakan makna surat proklamasi dan semangat pendiri bangsa ini yang
memiliki harapan yang tinggi pada anak cucunya. Namun kita punya tradisi itu, Agustusan,
sekali dalam setahun, berpesta, berlomba untuk kemudian lupa dan acuh.
Agustus dulu dan kini tidak banyak berubah. Perayaannya tidak banyak
bergeser, protokol upacaranya masih sama, hanya beda peserta upacara benderanya
dan oh, hadiah lombanya. Selebihnya Agustusan tidak berubah banyak, hanya angka
di gapura saja yang bertambah dan dicat ulang.
Agustus di Indonesia memang tidak drastis perubahannya namun Agustusku
tidak begitu ceritanya. Agustusku yang dulu begitu ceria, penuh lem dan
keringat. Agustusku yang dulu penuh haru dan tawa. Agustusku yang dulu penuh
dengan angan dan mimpi untuk menggantikan si kakak pembawa saka merah putih di
layar TV. Lain lagi dengan Agustusku kini yang getir sebab menyadari bahwa
patriotisme yang akan sering kudengar hanya tradisi yang diturunkan tanpa
bermakna apa pun.
Agustus mewarisi tradisi pesta rakyat Indonesia namun tidak dengan praktik
patriotisme dari para pendiri bangsa ini. Semangat itu tenggelam di antara
sorak dan pesta, kebanggaan itu hanya ada di buku sejarah.
Agustus yang kurasakan kini begitu kelabu, entahlah Agustusku nanti atau Agustus anak-anakku nanti. Semoga
Agustusku nanti akan cerah lagi seperti Agustusku yang dulu, yang penuh tawa
dan optimisme meluap-luap, semoga saja, semoga.
Comments
Post a Comment