Freeport, Indonesia dan Kita

Tambang Terbuka PT Freeport Indonesia



Oleh : Wella Andany


Asal-mula berdirinya PT. Freeport Indonesia
PT Freeport Indonesia yang beroperasi di kabupaten Mimika, Papua, merupakan anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper, perusahaan raksasa penambangan yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat.
Jauh sebelum berdiri PT Freeport Indonesia kekayaan tanah Papua telah diketahui oleh Lembaga Geografi Kerajaan Belanda (KNAG) pada awal abad ke-19. Namun baru pada tahun 1936 ahli geologi Belanda, Jean Jacques Dozy, berhasil menemukan gunung Bijih yang lebih dikenal dengan Ertsberg. Namun penelitian Belanda terhenti disebabkan oleh Perang Dunia ke ll yang mengalihkan fokus Belanda.
Setelah berakhirnya Perang Dunia ke ll dan didorong oleh rencana pembangunan ekonomi maka dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1967 yang memungkinkan perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia. Peluang ini lah yang membawa PT Freeport ke Indonesia dan melanjutkan penelitian Belanda yang sempat terputus. Dan di tahun yang sama PT Freeport dan Pemerintah menandatangani Kontrak Karya l yang memberikan wewenang PT Freeport mengeksplorasi 10 km2 di pegunungan Erstberg selama 30 tahun dimulai dari tahun 1973. Perlu diingat juga bahwa penandanganan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport terjadi dua tahun sebelum secara resmi Papua menjadi provinsi ke-26 NKRI yakni pada 19 November 1969, hal ini lah yang kemudian membentuk wacana bahwa pemerintah Indonesia menjual Papua ke negara asing.



Rinci Kontrak-kontrak Kerja PT Freeport-Indonesia
            Kontrak Karya l merupakan awal kerja sama pemerintah Indonesia dan PT Freeport, kontrak kerja ini memungkinkan PT Freeport mengeksplorasi 10 km2  tambang Erstberg selama 30 tahun dimulai dari tahun 1973.
            Namun pada tahun 1988, PT Freeport Indonesia menemukan cadangan tambang baru tidak jauh dari Puncak Jaya yang dikenal dengan Grasberg. Penemuan ini menandai babak baru investasi besar-besaran PT Freeport di tanah Papua. Investasi jangka panjang lainnya ditanda tangani Indonesia-Freeport (Kontrak Kerja ll) yang berisi kesepakatan PT Freeport berhak mengeksploitasi total 2,6 juta Hektar tanah Papua selama 30 tahun terhitung dari 1991 dan mengembalikan 92,2% dari total wilayah kontrak kepada Indonesia pada tahun 2012 yang dibagi menjadi dua bagian yakni Blok A (10.000 Hektar) dan Blok B (202.950 hektar) berlaku hingga tahun 2021.
            Poin-poin lain dari Kontrak Kerja ll ialah pemerintah Indonesia membuka kesempatan kepada PT Freeport untuk memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun dan didiskusikan paling cepat dua tahun sebelum Kontrak Kerja ll berakhir (2019) dan menawarkan divestasi bertahap kepada pemerintah Indonesia sebesar 30% pada tahun 2020 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.77 tahun 2014. Di tahun yang sama Pemerintah melakukan amandemen yang mengatur royalti Freeport kepada pemerintah Indonesia yang sebelumnya hanya 1% menjadi 4% untuk tembaga, 3,75% untuk emas dan 3,25% untuk perak.
            Karakteristik penting lainnya dalam Kontrak Kerja ialah PT Freeport memegang wewenang seluruh urusan manajemen dan operasional sementara pemerintah Indonesia yang hanya memegang 9,36% saham harus berpuas diri menjadi pemegang saham pasif di tanahnya sendiri.

Timeline
1936 Jean Jacques Dozy menemukan Gunung Bijih (Erstberg)
1967 Pemerintah Indonesia dan PT Freeport menandatangani Kontrak Karya l
1969 Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia
1973 Dimulainya Eksplorasi PT Freeport sesuai dengan Kontrak Karya l
1988 Ditemukannya Grasberg
1991 Penandantanganan Kontrak Karya ll
2012 Freeport hanya menguasai 7.78% dari total luas pertambangan tahun 1991
2019 Renegosiasi perpanjangan Kontrak Kerja hingga tahun 2041
2021 Habis masa Kontrak Kerja ll

Peranan Freeport Indonesia
Sejak Kontrak Kerja ll diteken, tidak kurang dari Rp 140 triliun dialokasikan sebagai bentuk investasi raksasa PT Freeport. Dana ini mencakup pembangunan infrastruktur berupa jalan, pelabuhan, bandara, kota mandiri, pembangkit listrik, tambang bawah tanah dan pabrik pengolaan. Proyek mega ini menyulap hutan belantara Mimika menjadi sebuah kota berfasilitas lengkap sebagai sarana dan prasarana para karyawan PT Freeport dan masyarakat lokal yang dikenal sebagai Tembagapura.
Tembagapura, kehidupan modern di dalam hutan Mimika

Pada tahun 1996 Mitsubishi bersama PT Freeport membangun smelter pertama di Indonesia (PT Smelting) yang mengelola sebagian dari konsentrat yang dihasilkan dari tanah Papua.
Tambang emas terbesar dunia ini menyerap lebih dari 30.000 pekerja (pekerja langsung dan kontraktor), website resmi PT Freeport Indonesia melansir lebih dari 97% dari total angka tersebut merupakan WNI dan 34% dari pekerja langsung merupakan Papua.
45 tahun sepak terjang Freeport di Indonesia menghasilkan investasi sebesar US $9,7 Milyar baik dalam lingkup Nasional maupun komunitas lokal. Investasi jangka panjang ini tentu memberi dampak besar terhadap perekonomian Indonesia, berdasarkan riset dari Universitas Indonesia PT Freeport menyumbang 1,59% kegiatan perekonomian Indonesia dengan 300.000 masyarakat menggantungkan hidupnya dari PT Freeport.
Tidak dipungkiri PT Freeport merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia, tidak tanggung-tanggung 1.7% dari total anggaran nasional Indonesia berasal dari PT Freeport. Rp 1,5 triliun dividen juga dikantongi pemerintah setiap tahunnya. Sejak tahun 1992 hingga 2014 PT Freeport menyatakan telah membayar pajak, royalti, dividen dan biaya langsung mau pun dukungan sebesar USD 15.8 Miliar. Tentu rentang waktu dan jumlah pemasukan pemerintah ini lebih dari cukup untuk membangun infrastruktur di tanah Papua.
Daerah Operasi PT Freeport Selama 40 Tahun


Kontroversi-kontroversi PT Freeport
Banyaknya ekspor hasil tambang PT Freeport ironisnya tidak diimbangi oleh prestasi membanggakan perusahaan asal Amerika ini. Selain setoran kepada pemerintah dan pembangunan yang berdampak langsung kepada kelangsungan perusahaan, tidak banyak terdengar prestasi PT Freeport. Kontroversi-kontroversi PT Freeport merupakan rahasia umum yang terus dibiarkan berlarut-larut sebab tidak ada langkah pendisiplinan dari Pemerintah.
Pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport sudah bukan rahasia lagi, Freeport yang memang dikenal sering mengabaikan HAM masyarakat asli Papua membawa The New York Times menelusuri jejak PT Freeport di tanah Papua. Ketidakseriusan pemerintah dalam penelusuran dan penegakan hak masyarakat asli membuat ketiadaan angka akurat korban pelanggaran HAM serius yang dilakukan PT Freeport ini. Namun menurut Chris Ballard dan Abigail Abrashyang masing-masing merupakan antropologi asal Australia yang bekerja kepada PT Freeport dan pekerja HAM asal Amerikamemperkirakan sejak 1975 hingga 1997 telah jatuh 160 nyawa di daerah tambang dan sekitarnya.
Pelanggaran HAM serius lainnya pun kembali terulang pada tahun 2014 pada insiden Big Gossan di mana terowongan areal tambang bawah tanah runtuh dan memakan 28 nyawa para pekerja dan 10 korban luka-luka. Investigasi yang dilakukan Komnas HAM melaporkan keruntuhan disebabkan oleh kelalaian PT Freeport dalam pengawasan hingga menyebabkan kecelakaan. Lagi, tidak ada penanganan serius yang diberatkan kepada PT Freeport selain kompensasi kepada keluarga korban.
Rekor buruk PT Freeport tidak sampai di sana, permasalahan selanjutnya yang tidak kalah krusial adalah limbah dari pabrik Freeport. Menambang di tambang terkaya di dunia memungkinkan PT Freeport setiap harinya menghasilkan 230.000 ton biji tembaga dan emas sepanjang tahun tanpa henti. Tentu angka fantastis ini menghasilkan limbah asam konsentrat yang juga luar biasa, penelusuran NYT menemukan 6 miliar ton limbah dibuang di sekitar hutan Papua, sungai Ajkwa hingga mencapai pesisir laut Arafuru. Pencemarah ini mengakibatkan sungai-sungai di sekitar tidak lagi memungkinkan terjadinya kehidupan di bawah air.
Pembuangan Limbah PT Freeport yang merusak fungsi Sungai Ajkwa

Tentu semua tuduhan-tuduhan tersebut tidak dipublikasikan tanpa konfirmasi PT Freeport sebelumnya. Meski telah diberikan kesempatan untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang selama ini ditujukan namun nyatanya PT Freeport gagal memanfaatkan kesempatan tersebut. Para jurnalis lokal mau pun asing (NYT) telah berulang kali berusaha mencoba untuk meliput langsung ke tailing PT Freeport untuk membuktikan tampikan PT Freeport yang selama ini mengklaim mengelola limbah sesuai dengan prosedur dan tidak mencemari sungai-sungai Papua. Namun sayang PT Freeport tidak ingin terbuka kepada media dan menilai pernyataan sepihak mereka tanpa bukti yang jelas telah mewakili fakta yang ada.
Ketidakpatuhan PT Freeport juga dilatarbelakangi oleh para pejabat yang mudah dilobi serta tindak korupsi dan suap yang dilakukan secara merata dari Kemiliteran, Polisi hingga Tentara Laut hingga Udara. Bahkan PT Freeport Indonesia memiliki anggaran mereka tersendiri untuk memelihara semua instansi di bawah ketiak mereka. Dalam laporan pengeluaran PT Freeport, NYT menemukan banyak transaksi-transaksi yang tidak wajar seperti 10 transaksi di bawah nama ‘Biaya Makan’ pada tahun 2012 yang mencapai $350,000 hingga dana bantuan dan proyek kepada polisi yang tidak jelas asal-usulnya senilai $1 juta pada tahun 2013 sendiri. Namun saat ditemui untuk konfirmasi tidak ada yang bersedia buka suara mengenai semua transaksi-transaksi mencurigakan tersebut.


Posisi Freeport di Dunia dan Indonesia
            Melihat Freeport lebih luas sebagai Freeport-McMoRan Copper, perusahaan tambang Amerika Serikat yang berafiliasi di Indonesia sebagai PT Freeport Indonesia memberi kita gambaran posisi Freeport di mata dunia. Di Amerika sendiri Freeport-McMoRan Copper merupakan salah satu perusahaan pertambangan terbesar, selain Indonesia Freeport juga beroperasi di benua Amerika Utara dan Selatan, Spanyol juga Kongo. Tentu ini menunjukkan betapa superiornya PT Freeport memiliki anak-anak perusahaan di berbagai penjuru dunia dan menjadi salah satu pemasok tembaga dan emas terbesar dunia.
            Namun entah serakah, salah stategi atau bingung mau diinvestasikan ke mana lumbung uang yang selama berpuluh-puluh tahun dipupuk dari menggali lubang di perut bumi, jadi lah pada Mei 2013 lalu Freeport merangkap menjadi raja minyak dengan membeli perusahaan minyak keempat di California, Plains Company, seharga USD 16,3 miliar (Rp 200 triliun). Ini termasuk mengambil alih utang Plains yakni USD 9,7 miliar.
            Ambisi untuk menjadi raja minyak dunia nampaknya hanya mimpi Freeport belaka. Tepat setelah beralih nama ekonomi Cina melambat yang menyebabkan minyak dunia terjun bebas hampir setengah harga dari USD 80 menjadi USD 40an. Melihat dari harga pasar yang terus negatif nampaknya dunia tidak bisa mengembalikan modal investasi Freeport dalam waktu dekat.
            Seperti kata pepatah jatuh tertimpa tangga seperti itu lah yang dirasakan Freeport. Belum selesai luka akibat kemalingan di investasi yang salah bertambah lagi luka yang baru. Harga komoditas-komoditas andalan Freeport terus jatuh sejak 2014 yang merontokkan harga saham Freeport-McMoRan (FCX) yang dulunya perkasa di harga $60 per lembar, minggu ini hanya dihargai $10 per lembar dengan rekor terburuk jatuh ke $3.52.
            Freeport tengah berusaha keras untuk keluar dari zona bahaya kebangkrutan, beban utang $20 milyar di pundak sementara pasar hanya menghargai Freeport-McMoRan seharga $4.8 miliar, hanya seperempat dari total utang perusahaan sendiri. Sementara PT Freeport Indonesia ditaksir seharga $16,2 miliar, empat kali lebih mahal dari induk perusahaannya sendiri.
            Di saat yang bersamaan Freeport juga membuat berita di Indonesia namun bukan mengenai keterpurukan harga saham dan utangnya, melainkan kontroversi pencatutan nama Presiden dan Wakil. Menarik sebab jika diteliti ke dua perkara Freeport ini mengerucut ke satu tujuan, menyelamatkan induk PT Freeport Indonesia, Freeport-McMoRan.
Insiden pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berawal dari Freeport yang ingin memastikan pemerintah masih akan melanjutkan kontrak kerja yang habis masa berlakunya pada tahun 2021 ini meski jelas dalam UU menjelaskan perundingan mengenai perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir (2019). Pemerintah Indonesia yang terkenal korup dan mudah dilobi membuat PT Freeport berani bernegosiasi dengan oknum-okum tertentu sebelum waktunya.
Tentu banyak orang bertanya-tanya mengapa PT Freeport begitu ngotot ingin memperbarui kontrak kerja yang masih lima tahun lamanya dan masyarakat Indonesia yang terfokus terharap perilaku korup anggota DPR pada akhirnya lupa dengan motif dan agenda Freeport sendiri. Banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak mengenal Freeport lebih jauh dan enggan mencari tahu lantas percaya bulat-bulat dengan stigma bahwa Freeport menggali kekayaan Indonesia dan membawa semua emas Indonesia ke Amerika Serikat meninggalkan rakyat Papua dengan limbah dan lubang menganga yang selamanya menjadi kenang-kenangan pahit tanpa mengetahui bahwa induk perusahaan PT Freeport Indonesia tengah menghadapi kebangkrutan dan berusaha mengelak dari kebangkrutan dengan berpegang erat kepada tanah Papua.
Meski memiliki anak-anak perusahaan di berbagai pelosok dunia namun harus diakui Freeport Indonesia adalah anak emas Freeport. Karena menurut faktanya 94% dari ekspor emas Freeport berasal dari tanah Papua, belum lagi komoditi lain seperti tembaga. Tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut PT Freeport menggantungkan nasibnya pada tanah Papua. Bayangkan jika tidak ada Indonesia, ke mana Freeport akan mendapatkan pemasukan untuk menutupi utang Freeport-McMoRan jika pemerintah Indonesia berubah pikiran dan menarik 94% dari penghasilan emas yang mereka terima di tahun 2021 nanti?
Liku Kontrak Kerja Freeport-Indonesia

Ketakutan Freeport tidak hanya di sana, selain kontrak kerja yang di ujung tanduk, tanpa diketahui banyak masyarakat Indonesia PT Freeport tengah mengerjakan proyek mega di bawah tanah yang di sebut-sebut sebagai tambang bawah tanah terbesar di dunia. Freeport telah memulai segala persiapan menuju proyek raksasanya di bawah perut Papua yang akan beroperasi dua puluh tahun ke depan jika pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak. Gundukan Emas itu tidak hanya di gunung, daratan tapi juga di dalam perut bumi Papua. Jika Freeport tidak menambang harta karun itu lalu siapa? Indonesia? Rakyat Papua?
Areal Proyek Pengerukan Bawah Tanah Mega Freeport

Video proyek bawah tanah PT Freeport Indonesia : 





via Youtube 

Rencana Masa Depan Freeport
            Membaca dari gerak-gerik Freeport sejak 2012 yang tidak lagi menyetor dividen yang seharusnya dikantongi Indonesia sebagai pemegang saham (Rp1,5 triliun/tahun) jelas kita bisa melihat ke mana skenario ini mengarah. PT Freeport Indonesia menggunakan seluruh dividen untuk reinvestasi di proyek meganya yang membutuhkan dana besar-besaran. Di sisi lain pemerintah yang hanya memiliki 9,36% saham hanya bisa gigit jari di setiap rapat pemegang saham karena lemahnya posisi negosiasi. Freeport yang memegang lebih dari 80% saham otomatis memiliki otoritas di setiap rapat kebijakan.
            Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2014, PT Freeport Indonesia harus melakukan divestasi kepada Pemerintah sebanyak 20%, dengan Indonesia yang telah memiliki 9,36% saham maka Freeport menawarkan 10,64% senilai US$1,7 miliar (Rp 23,5 triliun). Harga luar biasa tinggi yang mempersulit posisi Indonesia. Skenario yang menaruh Pemerintah dilema, apa pun keputusan pemerintah akan berpengaruh ke keputusan di tahun 2021 nanti. Jika Pemerintah membayarkan uang sebanyak itu untuk 10% saham Freeport namun di tahun 2021 tidak memperpanjang kontrak, dipastikan Pemerintah akan dicerca rakyat namun jika Pemerintah tidak menaikkan saham dan bertahan di posisi 9% lebih dan menandatangani kontrak di tahun 2021 maka posisi Indonesia akan semakin di ujung tanduk.
            Di sisi lain Freeport yang begitu gencar mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak kerja dari Pemerintah telah menyanggupi empat syarat dari Presiden Jokowi, yaitu divestasi saham PT Freeport kepada pemerintah Indonesia, Kenaikan Royalti, pembangunan Smelter di dalam negeri dan memberdayakan masyarakat Papua. Meski menyanggupi semua permintaan Presiden Jokowi, Freeport terus mengulur-ulur pembangunan Smelter yang disepakati akhir tahun 2014. Hingga kini belum ada realisasi yang dijanjikan Freeport, uang kesungguhan senilai US$ 530 juta yang seharusnya disetor kepada pemerintah pun tidak terealisasi dan berakhir hanya membayar bea keluar sebesar 5 persen.
                       

Masa Depan Kita, Indonesia
Masa depan Freeport jelas, melanjutkan kontrak dengan pemerintah Indonesia (setidaknya) dua puluh tahun ke depan atau hengkang dengan membawa seluruh sisa harta dan harapan. Namun bagaimana dengan Indonesia? Apa yang akan terjadi jika Indonesia melanjutkan atau menghentikan kontrak kerja bersama Freeport? Akan kah Indonesia siap mengelola harta karunnya sendiri? Akan kah ke depannya muncul PT Freeport lainnya di Indonesia karena ketidakmampuan kita mengelola emas yang ada di depan pelupuk itu? Atau sebaiknya kita terus menunggu hingga nanti yang entah kapan saatnya kita mampu mengelola kekayaan kita sepenuhnya? Lucu rasanya melihat kenyataan bahwa Freeport memiliki masa depan yang lebih pasti dibanding kita sang pemilik tanah.
Membaca sinyal yang ditunjukkan oleh Pemerintah nampaknya tidak ada rencana Pemerintah untuk memutus kontrak kerja dalam waktu dekat. Tentu banyak yang dipertimbangkan oleh Presiden dan jajarannya, dari manisnya hasil perut bumi hingga pahitnya ampas yang datang bersamanya. Sebagai seorang Nasionalis tidak perlu ditanya lagi apa yang melintas di benak kita mendengar wacana PT Freeport diberi lampu hijau untuk melanjutkan proyek-proyek meganya di tanah Papua, tentu kita sudah muak berlama-lama melihat perusahaan asing terus mengeruk kekayaan tanah kita. Namun untuk sesaat mari kita pinggirkan sentimentil itu dan bicara soal fakta.
Mandiri dalam mengelola apa yang menjadi hak sendiri adalah mimpi para pendiri bangsa ini, semangat itu lah yang membawa mereka berdiri di baris terdepan mengusir para penjajah namun kenyataan menunjukkan bahwa kita belum siap secara finansial mau pun ketenagakerjaan. Faktanya adalah jangan kan melanjutkan proyek Freeport, untuk membeli 10% saham Freeport saja perusahaan-perusahaan BUMN kesusahan. Belum lagi kesiapan SDM kita dari menambang, mengolah hingga menyulap hasil tambang kita menjadi materi siap pakai karena pada kenyataannya tenaga kerja asing yang tidak lebih dari 2% itu lah yang memegang otak sementara kita masih menjadi kaki dan tangan Freeport. Jika Pemerintah gagal melakukan transisi, tidak hanya leher 300.000 karyawan PT Freeport dan keluarga yang tercekik namun juga perekonomian Indonesia. Menelik dari faktor- faktor vital tersebut kita bisa melihat kesiapan Pemerintah dalam mengambil alih PT Freeport lima tahun ke depan.
Merupakan kegagalan besar Pemerintah kita yang selalu berleha-leha dan tidak belajar dan meningkatkan potensi nasional dan berpuas diri menjadi bayang-bayang dari perusahaan asing. Empat puluh tahun lamanya Freeport berada di Indonesia, generasi berganti generasi, Presiden beralih nama namun Indonesia masih di tempat yang sama, stagnan menjadi abdi di tanahnya sendiri. Seharusnya kita tidak menutup mata dan menyalahkan Freeport secara membabi buta, kesalahan ini ada pada kita, pada Pemerintah kita yang korup dan kita yang acuh dan terus mendiamkan.
Empat puluh tahun yang telah disia-siakan tidak akan bisa kita tarik kembali, waktu berharga yang telah pergi. Saling menyalahkan tidak akan mengubah apa pun, hal terakhir yang bisa kita lakukan adalah belajar dari kesalahan kita dan mulai mengejar keterbelakangan kita. Banyak solusi yang bisa diambil, Pemerintah harus bijak dalam mengambil keputusan kalau tidak ingin hal yang sama kembali terjadi pada Indonesia.
Meneruskan kontrak dengan Freeport sebetulnya tidak seburuk yang selalu diwacanakan. Freeport telah mengenal keadaan alam Indonesia secara persis, telah berpuluh-puluh tahun lamanya tim kompeten Freeport melakukan riset di tanah Papua dan jika Freeport ditendang keluar dari Indonesia tentu Freeport tidak akan meninggalkan rinci apa pun kepada Pemerintah dan kita harus memulai lembaran baru yang memakan waktu. Kita sering salah kaprah dan berkoar-koar ingin mengambil alih Freeport tanpa memedulikan efisiensi. Menjadikan Freeport milik pemerintah RI bukan lah poin terpenting melainkan merancang agar pemerintah Indonesia mendapat posisi semenguntungkan mungkin dalam kontrak kerja baru.
Melanjutkan Kontrak Kerja dengan Freeport bisa jadi adalah keputusan paling bijak dengan catatan penting pemerintah Indonesia harus bisa bernegosiasi dan menandatangani kontrak yang Indonesia kehendaki, bukan sebaliknya seperti yang lalu-lalu. Menjadi pemilik saham utama menjadi vital sebab Pemerintah harus memiliki kendali atas Freeport dan menyetir Freeport untuk kepentingan Nasional. Langkah Pemerintah mewajibkan pembangunan smelter dan pengolaan hasil tambang di dalam negeri merupakan satu contoh pengendalian Freeport sehingga kita tidak lagi hanya mengekspor hasil mentah dengan harga murah dan kembali membelinya dari luar dengan harga selangit.
Mewajibkan Freeport membayar royalti di kisaran 7% adalah agenda selanjutnya. Angka royalti yang dibayarkan Freeport kepada Pemerintah begitu kecil, hanya separuh dari angka yang dikenakan dari negara-negara lain. Freeport yang diperbolehkan mengeruk emas kita 24/7 seharusnya membayar royalti tinggi kepada Pemerintah, kotribusi yang tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan dari Indonesia.
Kewajiban lainnya yang harus Freeport jalankan adalah komitmen perusahaan dalam menjaga kelangsungan kehidupan alam dan manusia Papua. Pemerintah harus menerbitkan UU yang mengharuskan Freeport mengolah limbah pabriknya sesuai prosedur dan mengembalikan fungsi-fungsi hutan dan sungai yang selama ini disalahfungsikan. Pemerintah harus tegas dalam menindak ketidakpatuhan yang merugikan Indonesia. Freeport juga harus terbuka dengan media dan menyediakan data akurat yang disertai dengan fakta yang dapat diakses segala lapisan masyarakat, ini termasuk merinci semua pengeluaran PT Freeport sehingga tidak ada lagi transaksi-transaksi mencurigakan oleh oknum-oknum tertentu.
Perpanjangan kontrak ketiga kalinya ini harus menjadi kali terakhir, menjadi PR besar untuk Pemerintah mengejar ketinggalan kita dalam dua puluh tahun ke depan agar di masa depan kelak kita dapat mengambil alih Freeport sepenuhnya dan beroperasi tanpa bantuan asing. PR ini termasuk menyiapkan SDM Indonesia untuk menjadi pemimpin di Freeport yang mampu mengoperasikan perusahaan raksasa tambang dunia yang tentunya kesempatan ini diprioritaskan kepada pemuda-pemudi Papua yang seharusnya memegang kendali atas tanah mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat Papua harus menjadi agenda utama Pemerintah jika tidak ingin kehilangan Papua dari NKRI, isu-isu pemekaran diri merupakan masalah yang dibiarkan berlarut-larut tanpa penuntasan yang jelas. Telah berpuluh-puluh tahun saudara-saudara kita di Papua berjuang untuk haknya yang selalu tertindas. Catatan penting untuk Pemerintah jika tidak ingin melihat Papua menjadi Papua Nugini ke dua yang memisahkan diri dengan bantuan negara-negara asing.
Namun akan kah Freeport patuh kepada keinginan Pemerintah? Akan kah Freeport menandatangani kertas yang jelas kurang menguntungkan perusahaan itu sendiri? Tentu kita hanya bisa melihat pergerakan ekonomi dunia beberapa tahun ke depan namun jika Freeport masih berada di posisi yang sama dengan hari ini maka Pemerintah Indonesia dipastikan mampu mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam negosiasi. Induk Freeport yang berada di ambang kebangkrutan membutuhkan suntikan dana besar dan pimpinan Freeport akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kontrak kerja dengan Indonesia. Freeport mungkin satu dari banyak perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia namun untuk Freeport, Indonesia adalah masa depan perusahaan Freeport secara utuh.
Banyak yang kita bisa kritik dari perusahaan asing seperti PT Freeport namun juga banyak pelajaran-pelajaran yang dapat kita pelajari dari mereka. Dari etos kerja, kecintaan terhadap ilmu, keingintahuan, ambisi, kepercayaan diri, mental pantang menyerah yang mereka miliki. Kita melihat betapa cerdik dan kerasnya Freeport meyakinkan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memercayakan masa depan bangsa ini di tangan mereka. Freeport tidak bisa meramal namun mereka terus berusaha hingga ke titik penghabisan, sesuatu yang membuat salut sekaligus cermin diri sudah sejauh mana kita sebagai bangsa yang berdaulat berusaha.



Sumber :
1.     Wikipedia Indonesia
3.     Okezone
4.     Liputan 6
5.     Saripedia
6.     Kompas
7.     CNN Indonesia
8.     Tempo
9.     NYT, NYT

Comments

Popular posts from this blog