Freeport, Indonesia dan Kita
Tambang Terbuka PT Freeport Indonesia |
Oleh : Wella Andany
Asal-mula berdirinya
PT. Freeport Indonesia
PT Freeport Indonesia yang
beroperasi di kabupaten Mimika, Papua, merupakan anak perusahaan dari
Freeport-McMoRan Copper, perusahaan raksasa penambangan yang berpusat di
Arizona, Amerika Serikat.
Jauh sebelum berdiri PT Freeport
Indonesia kekayaan tanah Papua telah diketahui oleh Lembaga Geografi Kerajaan Belanda (KNAG) pada awal abad ke-19. Namun baru pada
tahun 1936 ahli geologi Belanda, Jean Jacques Dozy, berhasil menemukan gunung
Bijih yang lebih dikenal dengan Ertsberg. Namun penelitian Belanda terhenti disebabkan oleh
Perang Dunia ke ll yang mengalihkan fokus Belanda.
Setelah berakhirnya Perang Dunia ke ll dan didorong
oleh rencana pembangunan ekonomi maka dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1967 yang
memungkinkan perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia. Peluang ini lah
yang membawa PT Freeport ke Indonesia dan melanjutkan penelitian Belanda yang
sempat terputus. Dan di tahun yang sama PT Freeport dan Pemerintah
menandatangani Kontrak Karya l yang memberikan wewenang PT Freeport
mengeksplorasi 10 km2 di pegunungan Erstberg selama 30 tahun dimulai
dari tahun 1973. Perlu diingat juga bahwa penandanganan kerja sama antara
pemerintah Indonesia dan PT Freeport terjadi dua tahun sebelum secara resmi
Papua menjadi provinsi ke-26 NKRI yakni pada 19 November 1969, hal ini lah yang
kemudian membentuk wacana bahwa pemerintah Indonesia menjual Papua ke negara
asing.
Rinci Kontrak-kontrak Kerja
PT Freeport-Indonesia
Kontrak Karya l merupakan awal kerja
sama pemerintah Indonesia dan PT Freeport, kontrak kerja ini memungkinkan PT
Freeport mengeksplorasi 10 km2 tambang Erstberg selama 30 tahun dimulai dari
tahun 1973.
Namun pada tahun 1988, PT Freeport
Indonesia menemukan cadangan tambang baru tidak jauh dari Puncak Jaya yang
dikenal dengan Grasberg. Penemuan ini menandai babak baru investasi
besar-besaran PT Freeport di tanah Papua. Investasi jangka panjang lainnya
ditanda tangani Indonesia-Freeport (Kontrak Kerja ll) yang berisi kesepakatan
PT Freeport berhak mengeksploitasi total 2,6 juta Hektar tanah Papua selama 30
tahun terhitung dari 1991 dan mengembalikan 92,2% dari total wilayah kontrak
kepada Indonesia pada tahun 2012 yang dibagi menjadi dua bagian yakni Blok A (10.000
Hektar) dan Blok B (202.950 hektar) berlaku hingga tahun 2021.
Poin-poin lain dari Kontrak Kerja ll
ialah pemerintah Indonesia membuka kesempatan kepada PT Freeport untuk
memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun dan didiskusikan paling cepat dua tahun
sebelum Kontrak Kerja ll berakhir (2019) dan menawarkan divestasi bertahap kepada
pemerintah Indonesia sebesar 30% pada tahun 2020 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.77 tahun 2014. Di tahun yang sama Pemerintah melakukan amandemen yang
mengatur royalti Freeport kepada pemerintah Indonesia yang sebelumnya hanya 1%
menjadi 4% untuk tembaga, 3,75% untuk emas dan 3,25% untuk perak.
Karakteristik penting lainnya dalam
Kontrak Kerja ialah PT Freeport memegang wewenang seluruh urusan manajemen dan
operasional sementara pemerintah Indonesia yang hanya memegang 9,36% saham
harus berpuas diri menjadi pemegang saham pasif di tanahnya sendiri.
Timeline
1936 Jean Jacques
Dozy menemukan Gunung Bijih (Erstberg)
1967 Pemerintah
Indonesia dan PT Freeport menandatangani Kontrak Karya l
1969 Papua secara
resmi menjadi bagian dari Indonesia
1973 Dimulainya
Eksplorasi PT Freeport sesuai dengan Kontrak Karya l
1988 Ditemukannya
Grasberg
1991 Penandantanganan
Kontrak Karya ll
2012 Freeport
hanya menguasai 7.78% dari total luas pertambangan tahun 1991
2019 Renegosiasi
perpanjangan Kontrak Kerja hingga tahun 2041
2021 Habis masa Kontrak
Kerja ll
Peranan Freeport
Indonesia
Sejak Kontrak Kerja ll diteken, tidak kurang dari Rp
140 triliun dialokasikan sebagai bentuk investasi raksasa PT Freeport. Dana ini
mencakup pembangunan infrastruktur berupa jalan, pelabuhan, bandara, kota
mandiri, pembangkit listrik, tambang bawah tanah dan pabrik pengolaan. Proyek
mega ini menyulap hutan belantara Mimika menjadi sebuah kota berfasilitas lengkap
sebagai sarana dan prasarana para karyawan PT Freeport dan masyarakat lokal
yang dikenal sebagai Tembagapura.
Tembagapura, kehidupan modern di dalam hutan Mimika |
Pada tahun 1996 Mitsubishi bersama PT Freeport membangun
smelter pertama di Indonesia (PT
Smelting) yang mengelola sebagian dari konsentrat yang dihasilkan dari tanah
Papua.
Tambang emas terbesar dunia ini menyerap lebih dari
30.000 pekerja (pekerja langsung dan kontraktor), website resmi PT Freeport
Indonesia melansir lebih dari 97% dari total angka tersebut merupakan WNI dan
34% dari pekerja langsung merupakan Papua.
45 tahun sepak terjang Freeport di Indonesia
menghasilkan investasi sebesar US $9,7 Milyar baik dalam lingkup Nasional maupun
komunitas lokal. Investasi jangka panjang ini tentu memberi dampak besar
terhadap perekonomian Indonesia, berdasarkan riset dari Universitas Indonesia
PT Freeport menyumbang 1,59% kegiatan perekonomian Indonesia dengan 300.000 masyarakat
menggantungkan hidupnya dari PT Freeport.
Tidak dipungkiri PT Freeport merupakan pembayar pajak
terbesar di Indonesia, tidak tanggung-tanggung 1.7% dari total anggaran
nasional Indonesia berasal dari PT Freeport. Rp 1,5 triliun dividen juga
dikantongi pemerintah setiap tahunnya. Sejak tahun 1992 hingga 2014 PT Freeport
menyatakan telah membayar pajak, royalti, dividen dan biaya langsung mau pun
dukungan sebesar USD 15.8 Miliar. Tentu rentang waktu dan jumlah pemasukan
pemerintah ini lebih dari cukup untuk
membangun infrastruktur di tanah Papua.
Daerah Operasi PT Freeport Selama 40 Tahun |
Kontroversi-kontroversi
PT Freeport
Banyaknya ekspor hasil tambang PT
Freeport ironisnya tidak diimbangi oleh prestasi membanggakan perusahaan asal
Amerika ini. Selain setoran kepada pemerintah dan pembangunan yang berdampak langsung
kepada kelangsungan perusahaan, tidak banyak terdengar prestasi PT Freeport.
Kontroversi-kontroversi PT Freeport merupakan rahasia umum yang terus dibiarkan
berlarut-larut sebab tidak ada langkah pendisiplinan dari Pemerintah.
Pelanggaran HAM yang dilakukan
Freeport sudah bukan rahasia lagi, Freeport yang memang dikenal sering
mengabaikan HAM masyarakat asli Papua membawa The New York Times menelusuri
jejak PT Freeport di tanah Papua. Ketidakseriusan pemerintah dalam penelusuran
dan penegakan hak masyarakat asli membuat ketiadaan angka akurat korban
pelanggaran HAM serius yang dilakukan PT Freeport ini. Namun menurut Chris
Ballard dan Abigail Abrash—yang
masing-masing merupakan antropologi asal Australia yang bekerja kepada PT
Freeport dan pekerja HAM asal Amerika—memperkirakan sejak 1975 hingga 1997 telah jatuh 160
nyawa di daerah tambang dan sekitarnya.
Pelanggaran HAM serius lainnya
pun kembali terulang pada tahun 2014 pada insiden Big Gossan di mana terowongan
areal tambang bawah tanah runtuh dan memakan 28 nyawa para pekerja dan 10
korban luka-luka. Investigasi yang dilakukan Komnas HAM melaporkan keruntuhan
disebabkan oleh kelalaian PT Freeport dalam pengawasan hingga menyebabkan
kecelakaan. Lagi, tidak ada penanganan serius yang diberatkan kepada PT
Freeport selain kompensasi kepada keluarga korban.
Rekor buruk PT Freeport tidak
sampai di sana, permasalahan selanjutnya yang tidak kalah krusial adalah limbah
dari pabrik Freeport. Menambang di tambang terkaya di dunia memungkinkan PT
Freeport setiap harinya menghasilkan 230.000 ton biji tembaga dan emas
sepanjang tahun tanpa henti. Tentu angka fantastis ini menghasilkan limbah asam
konsentrat yang juga luar biasa, penelusuran NYT menemukan 6 miliar ton limbah
dibuang di sekitar hutan Papua, sungai Ajkwa hingga mencapai pesisir laut
Arafuru. Pencemarah ini mengakibatkan sungai-sungai di sekitar tidak lagi memungkinkan
terjadinya kehidupan di bawah air.
Pembuangan Limbah PT Freeport yang merusak fungsi Sungai Ajkwa |
Tentu semua tuduhan-tuduhan
tersebut tidak dipublikasikan tanpa konfirmasi PT Freeport sebelumnya. Meski
telah diberikan kesempatan untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang selama ini
ditujukan namun nyatanya PT Freeport gagal memanfaatkan kesempatan tersebut.
Para jurnalis lokal mau pun asing (NYT) telah berulang kali berusaha mencoba
untuk meliput langsung ke tailing PT
Freeport untuk membuktikan tampikan PT Freeport yang selama ini mengklaim
mengelola limbah sesuai dengan prosedur dan tidak mencemari sungai-sungai Papua.
Namun sayang PT Freeport tidak ingin terbuka kepada media dan menilai
pernyataan sepihak mereka tanpa bukti yang jelas telah mewakili fakta yang ada.
Ketidakpatuhan PT Freeport juga
dilatarbelakangi oleh para pejabat yang mudah dilobi serta tindak korupsi dan
suap yang dilakukan secara merata dari Kemiliteran, Polisi hingga Tentara Laut
hingga Udara. Bahkan PT Freeport Indonesia memiliki anggaran mereka tersendiri
untuk memelihara semua instansi di bawah ketiak mereka. Dalam laporan
pengeluaran PT Freeport, NYT menemukan banyak transaksi-transaksi yang tidak
wajar seperti 10 transaksi di bawah nama ‘Biaya Makan’ pada tahun 2012 yang
mencapai $350,000 hingga dana bantuan dan proyek kepada polisi yang tidak jelas
asal-usulnya senilai $1 juta pada tahun 2013 sendiri. Namun saat ditemui untuk
konfirmasi tidak ada yang bersedia buka suara mengenai semua
transaksi-transaksi mencurigakan tersebut.
Posisi Freeport di Dunia
dan Indonesia
Melihat Freeport lebih luas
sebagai Freeport-McMoRan Copper, perusahaan tambang Amerika Serikat yang berafiliasi
di Indonesia sebagai PT Freeport Indonesia memberi kita gambaran posisi Freeport
di mata dunia. Di Amerika sendiri Freeport-McMoRan Copper merupakan salah satu
perusahaan pertambangan terbesar, selain Indonesia Freeport juga beroperasi di benua
Amerika Utara dan Selatan, Spanyol juga Kongo. Tentu ini menunjukkan betapa
superiornya PT Freeport memiliki anak-anak perusahaan di berbagai penjuru dunia
dan menjadi salah satu pemasok tembaga dan emas terbesar dunia.
Namun entah
serakah, salah stategi atau bingung mau diinvestasikan ke mana lumbung uang yang
selama berpuluh-puluh tahun dipupuk dari menggali lubang di perut bumi, jadi
lah pada Mei 2013 lalu Freeport merangkap menjadi raja minyak dengan membeli
perusahaan minyak keempat di California, Plains Company, seharga USD 16,3
miliar (Rp 200 triliun). Ini termasuk mengambil alih utang Plains yakni USD 9,7
miliar.
Ambisi
untuk menjadi raja minyak dunia nampaknya hanya mimpi Freeport belaka. Tepat
setelah beralih nama ekonomi Cina melambat yang menyebabkan minyak dunia terjun
bebas hampir setengah harga dari USD 80 menjadi USD 40an. Melihat dari harga
pasar yang terus negatif nampaknya dunia tidak bisa mengembalikan modal
investasi Freeport dalam waktu dekat.
Seperti
kata pepatah jatuh tertimpa tangga seperti itu lah yang dirasakan Freeport.
Belum selesai luka akibat kemalingan di investasi yang salah bertambah lagi
luka yang baru. Harga komoditas-komoditas andalan Freeport terus jatuh sejak
2014 yang merontokkan harga saham Freeport-McMoRan (FCX) yang dulunya perkasa
di harga $60 per lembar, minggu ini hanya dihargai $10 per lembar dengan rekor
terburuk jatuh ke $3.52.
Freeport
tengah berusaha keras untuk keluar dari zona bahaya kebangkrutan, beban utang
$20 milyar di pundak sementara pasar hanya menghargai Freeport-McMoRan seharga
$4.8 miliar, hanya seperempat dari total utang perusahaan sendiri. Sementara PT
Freeport Indonesia ditaksir seharga $16,2 miliar, empat kali lebih mahal dari
induk perusahaannya sendiri.
Di saat
yang bersamaan Freeport juga membuat berita di Indonesia namun bukan mengenai
keterpurukan harga saham dan utangnya, melainkan kontroversi pencatutan nama
Presiden dan Wakil. Menarik sebab jika diteliti ke dua perkara Freeport ini
mengerucut ke satu tujuan, menyelamatkan induk PT Freeport Indonesia,
Freeport-McMoRan.
Insiden pencatutan nama Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berawal dari Freeport yang ingin
memastikan pemerintah masih akan melanjutkan kontrak kerja yang habis masa
berlakunya pada tahun 2021 ini meski jelas dalam UU menjelaskan perundingan
mengenai perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan paling cepat dua tahun
sebelum kontrak berakhir (2019). Pemerintah Indonesia yang terkenal korup dan
mudah dilobi membuat PT Freeport berani bernegosiasi dengan oknum-okum tertentu
sebelum waktunya.
Tentu banyak orang bertanya-tanya
mengapa PT Freeport begitu ngotot ingin memperbarui kontrak kerja yang masih
lima tahun lamanya dan masyarakat Indonesia yang terfokus terharap perilaku
korup anggota DPR pada akhirnya lupa dengan motif dan agenda Freeport sendiri. Banyak
dari masyarakat Indonesia yang tidak mengenal Freeport lebih jauh dan enggan
mencari tahu lantas percaya bulat-bulat dengan stigma bahwa Freeport menggali
kekayaan Indonesia dan membawa semua emas Indonesia ke Amerika Serikat
meninggalkan rakyat Papua dengan limbah dan lubang menganga yang selamanya
menjadi kenang-kenangan pahit tanpa mengetahui bahwa induk perusahaan PT
Freeport Indonesia tengah menghadapi kebangkrutan dan berusaha mengelak dari
kebangkrutan dengan berpegang erat kepada tanah Papua.
Meski memiliki anak-anak
perusahaan di berbagai pelosok dunia namun harus diakui Freeport Indonesia
adalah anak emas Freeport. Karena menurut faktanya
94% dari ekspor emas Freeport berasal dari tanah Papua, belum lagi komoditi
lain seperti tembaga. Tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut PT Freeport
menggantungkan nasibnya pada tanah Papua. Bayangkan jika tidak ada Indonesia,
ke mana Freeport akan mendapatkan pemasukan untuk menutupi utang
Freeport-McMoRan jika pemerintah Indonesia berubah pikiran dan menarik 94% dari
penghasilan emas yang mereka terima di tahun 2021 nanti?
Liku Kontrak Kerja Freeport-Indonesia |
Ketakutan Freeport tidak hanya di
sana, selain kontrak kerja yang di ujung tanduk, tanpa diketahui banyak
masyarakat Indonesia PT Freeport tengah mengerjakan proyek mega di bawah tanah
yang di sebut-sebut sebagai tambang bawah tanah terbesar di dunia. Freeport
telah memulai segala persiapan menuju proyek raksasanya di bawah perut Papua
yang akan beroperasi dua puluh tahun ke depan jika pemerintah Indonesia
memperpanjang kontrak. Gundukan Emas itu tidak hanya di gunung, daratan tapi
juga di dalam perut bumi Papua. Jika Freeport tidak menambang harta karun itu
lalu siapa? Indonesia? Rakyat Papua?
Areal Proyek Pengerukan Bawah Tanah Mega Freeport |
Video proyek bawah tanah PT Freeport Indonesia :
via Youtube
Rencana Masa Depan
Freeport
Membaca
dari gerak-gerik Freeport sejak 2012 yang tidak lagi menyetor dividen yang
seharusnya dikantongi Indonesia sebagai pemegang saham (Rp1,5 triliun/tahun)
jelas kita bisa melihat ke mana skenario ini mengarah. PT Freeport Indonesia
menggunakan seluruh dividen untuk reinvestasi di proyek meganya yang
membutuhkan dana besar-besaran. Di sisi lain pemerintah yang hanya memiliki 9,36%
saham hanya bisa gigit jari di setiap rapat pemegang saham karena lemahnya
posisi negosiasi. Freeport yang memegang lebih dari 80% saham otomatis memiliki
otoritas di setiap rapat kebijakan.
Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2014, PT Freeport Indonesia harus melakukan
divestasi kepada Pemerintah sebanyak 20%, dengan Indonesia yang telah memiliki
9,36% saham maka Freeport menawarkan 10,64% senilai US$1,7 miliar (Rp 23,5
triliun). Harga luar biasa tinggi yang mempersulit posisi Indonesia. Skenario
yang menaruh Pemerintah dilema, apa pun keputusan pemerintah akan berpengaruh
ke keputusan di tahun 2021 nanti. Jika Pemerintah membayarkan uang sebanyak itu
untuk 10% saham Freeport namun di tahun 2021 tidak memperpanjang kontrak,
dipastikan Pemerintah akan dicerca rakyat namun jika Pemerintah tidak menaikkan
saham dan bertahan di posisi 9% lebih dan menandatangani kontrak di tahun 2021
maka posisi Indonesia akan semakin di ujung tanduk.
Di sisi
lain Freeport yang begitu gencar mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak kerja
dari Pemerintah telah menyanggupi empat syarat dari Presiden Jokowi, yaitu
divestasi saham PT Freeport kepada pemerintah Indonesia, Kenaikan Royalti,
pembangunan Smelter di dalam negeri
dan memberdayakan masyarakat Papua. Meski menyanggupi semua permintaan Presiden
Jokowi, Freeport terus mengulur-ulur pembangunan Smelter yang disepakati akhir tahun 2014. Hingga kini belum ada
realisasi yang dijanjikan Freeport, uang kesungguhan senilai US$ 530 juta yang
seharusnya disetor kepada pemerintah pun tidak terealisasi dan berakhir hanya
membayar bea keluar sebesar 5 persen.
Masa Depan Kita, Indonesia
Masa depan Freeport jelas,
melanjutkan kontrak dengan pemerintah Indonesia (setidaknya) dua puluh tahun ke
depan atau hengkang dengan membawa seluruh sisa harta dan harapan. Namun
bagaimana dengan Indonesia? Apa yang akan terjadi jika Indonesia melanjutkan
atau menghentikan kontrak kerja bersama Freeport? Akan kah Indonesia siap
mengelola harta karunnya sendiri? Akan kah ke depannya muncul PT Freeport
lainnya di Indonesia karena ketidakmampuan kita mengelola emas yang ada di
depan pelupuk itu? Atau sebaiknya kita terus menunggu hingga nanti yang entah
kapan saatnya kita mampu mengelola kekayaan kita sepenuhnya? Lucu rasanya
melihat kenyataan bahwa Freeport memiliki masa depan yang lebih pasti dibanding
kita sang pemilik tanah.
Membaca sinyal yang ditunjukkan
oleh Pemerintah nampaknya tidak ada rencana Pemerintah untuk memutus kontrak
kerja dalam waktu dekat. Tentu banyak yang dipertimbangkan oleh Presiden dan
jajarannya, dari manisnya hasil perut bumi hingga pahitnya ampas yang datang
bersamanya. Sebagai seorang Nasionalis tidak perlu ditanya lagi apa yang
melintas di benak kita mendengar wacana PT Freeport diberi lampu hijau untuk
melanjutkan proyek-proyek meganya di tanah Papua, tentu kita sudah muak
berlama-lama melihat perusahaan asing terus mengeruk kekayaan tanah kita. Namun
untuk sesaat mari kita pinggirkan sentimentil itu dan bicara soal fakta.
Mandiri dalam mengelola apa yang
menjadi hak sendiri adalah mimpi para pendiri bangsa ini, semangat itu lah yang
membawa mereka berdiri di baris terdepan mengusir para penjajah namun kenyataan
menunjukkan bahwa kita belum siap secara finansial mau pun ketenagakerjaan.
Faktanya adalah jangan kan melanjutkan proyek Freeport, untuk membeli 10% saham
Freeport saja perusahaan-perusahaan BUMN kesusahan. Belum lagi kesiapan SDM
kita dari menambang, mengolah hingga menyulap hasil tambang kita menjadi materi
siap pakai karena pada kenyataannya tenaga kerja asing yang tidak lebih dari 2%
itu lah yang memegang otak sementara kita masih menjadi kaki dan tangan
Freeport. Jika Pemerintah gagal melakukan transisi, tidak hanya leher 300.000
karyawan PT Freeport dan keluarga yang tercekik namun juga perekonomian
Indonesia. Menelik dari faktor- faktor vital tersebut kita bisa melihat
kesiapan Pemerintah dalam mengambil alih PT Freeport lima tahun ke depan.
Merupakan kegagalan besar
Pemerintah kita yang selalu berleha-leha dan tidak belajar dan meningkatkan
potensi nasional dan berpuas diri menjadi bayang-bayang dari perusahaan asing.
Empat puluh tahun lamanya Freeport berada di Indonesia, generasi berganti
generasi, Presiden beralih nama namun Indonesia masih di tempat yang sama,
stagnan menjadi abdi di tanahnya sendiri. Seharusnya kita tidak menutup mata
dan menyalahkan Freeport secara membabi buta, kesalahan ini ada pada kita, pada
Pemerintah kita yang korup dan kita yang acuh dan terus mendiamkan.
Empat puluh tahun yang telah
disia-siakan tidak akan bisa kita tarik kembali, waktu berharga yang telah
pergi. Saling menyalahkan tidak akan mengubah apa pun, hal terakhir yang bisa
kita lakukan adalah belajar dari kesalahan kita dan mulai mengejar
keterbelakangan kita. Banyak solusi yang bisa diambil, Pemerintah harus bijak
dalam mengambil keputusan kalau tidak ingin hal yang sama kembali terjadi pada
Indonesia.
Meneruskan kontrak dengan
Freeport sebetulnya tidak seburuk yang selalu diwacanakan. Freeport telah
mengenal keadaan alam Indonesia secara persis, telah berpuluh-puluh tahun
lamanya tim kompeten Freeport melakukan riset di tanah Papua dan jika Freeport
ditendang keluar dari Indonesia tentu Freeport tidak akan meninggalkan rinci
apa pun kepada Pemerintah dan kita harus memulai lembaran baru yang memakan
waktu. Kita sering salah kaprah dan berkoar-koar ingin mengambil alih Freeport
tanpa memedulikan efisiensi. Menjadikan Freeport milik pemerintah RI bukan lah
poin terpenting melainkan merancang agar pemerintah Indonesia mendapat posisi
semenguntungkan mungkin dalam kontrak kerja baru.
Melanjutkan Kontrak Kerja dengan
Freeport bisa jadi adalah keputusan paling bijak dengan catatan penting pemerintah Indonesia harus bisa
bernegosiasi dan menandatangani kontrak yang Indonesia kehendaki, bukan
sebaliknya seperti yang lalu-lalu. Menjadi pemilik saham utama menjadi vital
sebab Pemerintah harus memiliki kendali atas Freeport dan menyetir Freeport
untuk kepentingan Nasional. Langkah Pemerintah mewajibkan pembangunan smelter dan pengolaan hasil tambang di
dalam negeri merupakan satu contoh pengendalian Freeport sehingga kita tidak
lagi hanya mengekspor hasil mentah dengan harga murah dan kembali membelinya
dari luar dengan harga selangit.
Mewajibkan Freeport membayar
royalti di kisaran 7% adalah agenda selanjutnya. Angka royalti yang dibayarkan
Freeport kepada Pemerintah begitu kecil, hanya separuh dari angka yang
dikenakan dari negara-negara lain. Freeport yang diperbolehkan mengeruk emas
kita 24/7 seharusnya membayar royalti tinggi kepada Pemerintah, kotribusi yang
tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan dari Indonesia.
Kewajiban lainnya yang harus
Freeport jalankan adalah komitmen perusahaan dalam menjaga kelangsungan
kehidupan alam dan manusia Papua. Pemerintah harus menerbitkan UU yang
mengharuskan Freeport mengolah limbah pabriknya sesuai prosedur dan
mengembalikan fungsi-fungsi hutan dan sungai yang selama ini disalahfungsikan.
Pemerintah harus tegas dalam menindak ketidakpatuhan yang merugikan Indonesia.
Freeport juga harus terbuka dengan media dan menyediakan data akurat yang
disertai dengan fakta yang dapat diakses segala lapisan masyarakat, ini
termasuk merinci semua pengeluaran PT Freeport sehingga tidak ada lagi
transaksi-transaksi mencurigakan oleh oknum-oknum tertentu.
Perpanjangan kontrak ketiga
kalinya ini harus menjadi kali terakhir, menjadi PR besar untuk Pemerintah mengejar
ketinggalan kita dalam dua puluh tahun ke depan agar di masa depan kelak kita
dapat mengambil alih Freeport sepenuhnya dan beroperasi tanpa bantuan asing. PR
ini termasuk menyiapkan SDM Indonesia untuk menjadi pemimpin di Freeport yang
mampu mengoperasikan perusahaan raksasa tambang dunia yang tentunya kesempatan
ini diprioritaskan kepada pemuda-pemudi Papua yang seharusnya memegang kendali
atas tanah mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat Papua harus menjadi agenda
utama Pemerintah jika tidak ingin kehilangan Papua dari NKRI, isu-isu pemekaran
diri merupakan masalah yang dibiarkan berlarut-larut tanpa penuntasan yang jelas.
Telah berpuluh-puluh tahun saudara-saudara kita di Papua berjuang untuk haknya
yang selalu tertindas. Catatan penting untuk Pemerintah jika tidak ingin
melihat Papua menjadi Papua Nugini ke dua yang memisahkan diri dengan bantuan
negara-negara asing.
Namun akan kah Freeport patuh
kepada keinginan Pemerintah? Akan kah Freeport menandatangani kertas yang jelas
kurang menguntungkan perusahaan itu sendiri? Tentu kita hanya bisa melihat
pergerakan ekonomi dunia beberapa tahun ke depan namun jika Freeport masih
berada di posisi yang sama dengan hari ini maka Pemerintah Indonesia dipastikan
mampu mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam negosiasi. Induk Freeport
yang berada di ambang kebangkrutan membutuhkan suntikan dana besar dan pimpinan
Freeport akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kontrak kerja dengan
Indonesia. Freeport mungkin satu dari banyak perusahaan besar yang beroperasi
di Indonesia namun untuk Freeport, Indonesia adalah masa depan perusahaan
Freeport secara utuh.
Banyak yang kita bisa kritik dari
perusahaan asing seperti PT Freeport namun juga banyak pelajaran-pelajaran yang
dapat kita pelajari dari mereka. Dari etos kerja, kecintaan terhadap ilmu,
keingintahuan, ambisi, kepercayaan diri, mental pantang menyerah yang mereka
miliki. Kita melihat betapa cerdik dan kerasnya Freeport meyakinkan pemerintah
dan masyarakat Indonesia untuk memercayakan masa depan bangsa ini di tangan
mereka. Freeport tidak bisa meramal namun mereka terus berusaha hingga ke titik
penghabisan, sesuatu yang membuat salut sekaligus cermin diri sudah sejauh mana
kita sebagai bangsa yang berdaulat berusaha.
Sumber :
Comments
Post a Comment